Sabtu, 30 Maret 2013

Tugas IBD Minggu Ke-4

HTML Online Editor Sample

Nama  : Nur Ali Akbar

Tugas  : Ilmu Budaya Dasar M-1

NPM   :1A111017

Kelas   : 4 KA 33

4. Perubahan Kebudayaan & Peradaban (Studi Kasus “Budaya Facebook”)

Kebudayaan hakekatnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Culture atau budaya menurut McIver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusasteraan, agama, rekreasi, dan hiburan, dan yang memenuhi kebutuhan hidup manusia. (dikutip dalam Soekanto, 2002:304). Sebagai sebuah panduan bagi sekelompok masyarakat untuk bertindak dan berperilaku, budaya mewujud, dipelajari dan diaplikasikan salah satunya melalui media komunikasi. Orang tua yang merawat dan membesarkan anaknya melakukan transmisi  budaya  melalui  komunikasi  interpersonal.  Kemudian,  semakin  kompleks sebuah masyarakat semakin kompleks pula perilaku komunikasi yang dijalankan.

Budaya dalam kamus besar bahasa Indonesia mencakup pikiran; akal budi. Akal budi dan pikiran sejatinya karya atau ciptaan manusia yang bermasyarakat, sehingga terbentuk peradaban. Dengan demikian, budaya erat kaitannya dengan masyarakat dan adat istiadat dari generasi ke generasi. Budaya tidak hanya kesenian atau hal-hal yang berkaitan dengan intelektual, namun mencakup seluruh pola kehidupan tatanan masyarakat. Derasnya arus globalisasi telah mengubah cara kita dalam berbudaya. Pelan namun pasti budaya barat dengan paham kapitalisme bukan saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Budaya ini menumbuh-kembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Budaya yang telah ada lebih dulu yang merupakan identitas makin memudar, bahkan menghilang. Budaya tersebut kita kenal dengan istilah budaya populer (pop-culture).

Dominic Strinati mengutip pendapat L Gamman dan M Marshment dalam tulisan keduanya berjudul The Female Gaze: Women as Viewer of Popular Culture (1988), mendefinisikan budaya pop sebagai “lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus”.

 

Sedangkan dalam Ensiklopedia Encarta, budaya pop diartikan sebagai “values that come from advertising, the entertainment industry, the media, and icons of style and are targeted to the ordinary people in society”. (Encarta reference library, 2004). Budaya pop adalah nilai-nilai yang berasal dari industri iklan, industri hiburan, media dan simbol mode yang ditujukan pada masyarakat awam. Budaya pop mengkhaskan wujudnya dalam sebuah kondisi kepraktisan, pragmatisme, dan keinstanan. Sebuah budaya yang digerakkan oleh kepentingan pasar. Budaya pop secara jelas memiliki dua karakter. Pertama, bersifat instant, memberikan pemuasan sesaat, pasif dan cenderung dangkal. Maka tak jarang budaya ini, dipenuhi oleh intrik seksualitas dan konsumerisme. Kedua, budaya ini juga bersifat massa, sehingga penyebarannya di tengah masyarakat sedemikian cepat.

Facebook merupakan salah satu social network yang ada di internet. dengan facebook kita bisa tau kegiatan teman kita dengan dia mengupdate statusnya dan bisa berkomentar dengan apa yang mereka kerjakan. Selain itu facebook pun menyediakan taging foto yang bisa mengetahui siapa saja yang ada di dalam foto kemudian setelah di taging. foto yang di upload teman kita bisa masuk ke album foto kita. Belum lagi aplikasi aplikasi tambahan seperti game , quiz, dan lain-lain yang bisa kita gunkanan untuk mengisi waktu luang setelah itu fitur group dan calender serta fasilitas invite dalam mengadakan suatu acara.

Facebook telah merambah dalam gaya hidup seorang individu. Bukan saja anak muda, tapi orang tua pun berlomba-lomba membuat akun Facebook agar tak dikatakan ketinggalan jaman. Facebook yang tidak jauh berbeda dengan Friendster adalah sebuah situs jejaring perkawanan (social networking) di dunia maya yang berfungsi sebagai media komunikasi, ekspresi personal, dan media mencari teman baru ataupun lama. Facebook memang menawarkan hampir semua jasa yang disediakan berbagai situs. Facebook dapat digunakan untuk menjalin pertemanan, bergabung ke grup atau komunitas sosial, mengirim surat elektronik, chatting, bermain online game, serta meng-upload video dan foto.

Facebook yang diluncurkan 4 Februari 2004 oleh Zuckerberg di AS, layaknya kacang goreng kini semakin meroket jumlah pengaksesnya. Di Indonesia sendiri, menurut AllFacebook.com, saat ini telah tercatat lebih dari 1,5 juta orang yang terdaftar dalam akun Facebook. Bahkan, Facebook telah berada di rangking kelima sebagai situs yang paling banyak diakses di Indonesia. Tak heran, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara dengan tingkat pertumbuhan Facebook tercepat. Bahkan, Indonesia tercatat dalam sepuluh besar negara pemakai situs yang mulai dibuka untuk umum mulai tahun 2006 ini.

Lantas bagaimanakah dengan keberadaan Facebook yang saat ini manjadi ikon anak muda buat media ekspresi yang paling canggih sekaligus fenomenal? Facebook jelas produk bentukan kapitalis yang digerakan oleh kepentingan pasar. Facebook adalah bentuk homogenitas budaya pop (popular culture). Kehadiran Facebook yang seharusnya disikapi sebagai sebuah perkembangan tekhnologi informasi justru jatuh pada tataran pragmatisme massal dimana Facebook hanya dilihat sebagai sebuah aksen penjelas akan makna gaul dan eksistensi seorang individu. “gak gaul loe kalo gak punya facebook…!!!”. Gaul hanya dimaknai sempit ketika seseorang mempunyai account di Facebook selebihnya tidak. Jelas ini adalah sebuah proses pereduksian dan pendangkalan akan makna-makna luhur kehidupan. Individu merasa keberadaannya tidak diakui jika tidak memiliki account di Facebook. Dirinya hanyalah dihargai sebatas kepemilikan account di Facebook itu. Tanpa memilikinya ia merasa dirinya mati. Bila pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jatuh. Hasilnya adalah tidak adanya bentuk-bentuk penghargaan terhadap manusia sebagai insan. Ini pun dapat menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan.

Sedemikian seriuskah? Memang terkesan remeh dan kita sebagai seorang individu bisa mengelak bahwa Facebook adalah bentuk adaptasi demi mengikuti perkembangan zaman. Namun apakah kita sadar kalau seharusnya Facebook sudah masuk pada tataran rasionalisasi?. Tampaknya budaya global dari efek media sudah benar-benar pada tahap syndrome hyperreality. Lihat saja sebuah pemanfaatan yang sia-sia akan kecanggihan teknologi informasi jika Facebook hanya dimaknai sebagai arena curhat, arena pembohongan publik, atau sekedar arena gagah-gagahan (narcis) seorang individu layaknya memakai t-shirt bergambar Che Guevara tanpa pernah tahu bagaimana perjuangannya, menggunakan atribut Palestina tanpa pernah tahu betapa berartinya bertahan hidup di Gaza sana. Kita tidak sadar kalau kita sebagai individu digiring pada wilayah instant yang malah semakin mendegradasikan kehidupan kita bila kita tidak memaknai penuh bijak kehadiran Facebook ini. Kita telah menjadi sasaran konsumerisme dan konsumtivisme budaya pop.

Resistensi yang dapat kita lakukan terhadap kultur singularitas peradaban yang ditampilkan dalam aksen “Facebook” dapat dilakukan dengan proses internalisasi. Hal ini dikarenakan homogenitas budaya pop itu mengarah pada pendangkalan, solusi yang harus dilakukan adalah pendalaman. Internalisasi merupakan suatu proses memaknai kembali secara mendalam makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami. Selain itu perkembangan Facebook harus diikuti dengan pengembangan budaya literasi sehingga Facebook tidak berhenti sebagai sebuah gejala temporer semata.

Sumber :

L Gamman dan M Marshment. The Female Gaze: Women as Viewer of Popular Culture (1988)

AllFacebook.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar